Siapa yang tidak tahu bromo?? Iya gunung yang masih aktiv ini terletak di pegunungan tengger yang masuk ke 3 kabupaten di jawa timur sekaligus, Pasuruan, Probolinggo, Malang.
Gunung eksotik yang memiliki kaldera luas dan dapat dijelajahi oleh pengunjungnya ini sangat istimewa dimata saya dan teman-teman yang meski beberapa orang diantaranya memang sudah biasa berkunjung kesana. Iya, benar meski sudah lebih dari 10 kali saya mondar-mandir ke Bromo, rasa-rasanya setiap akan kesana saya selalu merasa bahwa itu adalah petualangan yang baru dan akan mendebarkan.
12 Mei 2012 saya dan beberapa teman dari kantor bertujuan berangkat ke Bromo lewat jalur Tosari – Pasuruan, menggunakan motor modal sendiri, hehehe. Kali ini perjalanan saya rasakan lumayan agak jauh menurut karena cukup membuat “bokong” terasa panas, lewat jalur tosari tandanya kita akan ke penanjakan, pengunungan tengger tertinggi yang mengelilingi bromo. Jalur ini tidak biasa saya tempuh karena terbiasa melalui jalur Ngadisari – Probolinggo, rute jalannya lumayan landai dibanding lewat Tosari. Maklum desa Ngadisari jauh lebih rendah dibandingkan penanjakan, maka jika kalian-kalian semua berkehendak ke Bromo dengan kendaran yang kurang maksimal untuk tanjakan lebih baik memilih jalur Ngadisari – Probolinggo. Jika memaksakan lewat Tosari bisa-bisa motor atau kendaraan kalian “mandeg” tengah jalan. Atau bahkan mundur, Wow.. seram!
Kami berangkat dari Surabaya jam 16.00, rombongan berjumlah 13 orang dan semuanya menggunakan motor pribadi, kami tidak langsung berangkat ketempat tujuan melainkan berhenti sejenak di Bangil, iya, mampir ke rumah saya dulu untuk mempersiapkan perbekalan. Perbekalan untuk menginap semalam, maklum mba Lia bagian pengadaan di kantor selalu merasa khawtir jika teman-teman lain kelaparan sedang kita semua tidak menguasai medan.
Pukul 19.00 kami memulai perjalanan santai kearah penanjakan, melalui Pasuruan, Paserpan, Tosari dan kemudian sampai di Penanjakan, jarak tempuh kami yang menggunakan kecepatan kurang lebih 40 km/jam cukup membuat pegal-pegal, perjalanan memang dibuat sesantai mungkin karena mengingat beberapa teman kami tidak memiliki pengalaman naik gunung dengan motor, alhasil kami tiba di penanjakan pukul 22.50 malam, cukup lelah, karena kami juga tidak jua menemukan penginapan, meski banyak. Maklum kami tidak mau salah langkah mengambil penginapan yang diluar batas kemampuan kami, di pos penanjakan kami sempat bertemu beberapa orang pribumi (suku tengger) yang menawarkan saya dan rombongan penginapan, harga? Bisa nego, katanya.
Setelah beberapa motor beristirahat dan mengisi bensin dengan bensin eceran di pos tadi, kami diantar oleh seorang bapak-bapak calo’ penginapan. Kami sengaja meminta untuk menyewa 1 rumah penduduk dibanding dengan menyewa perkamar, karena harga akan jauh lebih mahal. Setelah kurang lebih 30 menit kami nego dan muuter-muter kebeberapa rumah untuk mendapatkan tempat ternyaman akhirnya kami mendapatkan 1 rumah penduduk di pinggir jalan berisi 3 kamar lengkap dengan dapur, kamar mandi, dan ruang tamu yang cukup luas, juga TV untuk membunuh bosan. Harga yang didapat adalah Rp. 275.000 untuk kami ber-13 tidak terlalu beratlaah, tapi cukup sebal juga karena biasanya kami bisa mendapat harga lebih murah dari itu, seorang kawan dari rombongan bilang bulan juli lalu dia dan teman-temannya mendapatkan harga Rp. 200.000 per-Rumah, murah kan? Tapi ya sudah, karena melihat keadaan teman-teman lain yang sudah tidak kuat membawa kepala masing-masing ditambah lapar dan dingin, akhirnya harga Rp. 275.000,- kami ambil.
FYI : Hati-hati dengan orang setempat yang suka mengambil kesempatan dalam kesempitan, setelah harga deal, ternyata seorang petugas dari pos yang mengantar kami dan ternyata bukan siapa-siapa, mengambil kesempatan dengan tetap meminta uang tambahan “elpiji” yang akan kami gunakan, sialnya tanpa menaruh curiga kami beri dia tambahan Rp. 10.000,- memang tidak terlalu besar tapi yang bikin kami sedikit “gondok” adalah, ternyata 1 jam ketika kami sedang memasak nasi dan air, tiba-tiba “pessssss”… Elpiji kosong! Ludes! Dalam keadaan lapar dan dingin mau tidak mau kami akhirnya membeli lagi gas elpiji tabung hijau dengan harga Rp. 20.000, sebenarnya harga itu tidak menjadi masalah tapi ya sikap mereka yang mencuri kesempatan yang bikin sebal. Tidak nyaman deh.. heuheuhe
Pukul 00.30 Nasi akhirnya masak juga, teman-teman makan dengan mata setengah terpejam, hahaha, agenda selanjutnya setelah mengisi perut adalah.. Istirahat! Mengingat kita akan berangkat menyambut sunrise dipenanjakan jam 4.00 pagi.
Suasana hari minggu dini hari ini sangat dingin suhu mencapai 15 derajat Celsius, cukup lumayan menembus hangatnya 2 kaos kaki yang menempel rapat pada kaki kami. Untuk orang tropis seperti kami suhu seperti ini tentu sudah dingin apalagi kami yang dating dari dataran rendah tidak dengan benar mempersiapkannya, kami terlalu menyepelekan suhu diatas gunung bromo itu. Alhasil, yaaah.. kami sendiri yang merasakan betapa dinginnya penanjakan dini hari itu.
Pukul 4.30 kami telah mencapai puncak pass penanjakan, dikilometer 1 sebelum tempat melihat sunrise sudah berjajaran mobil hardtop yang ternyata parkir. Hanya motor yang sangggup mencapai titik puncak penanjakan, kemudian motor-motor tersebut dititipkan dibawah menara-menara provider diatas penanjakan. Oiya, tiket masuk bromo saat ini hanya Rp. 5000 rupiah untuk turis local dan Rp. 50.000 untuk turis manca Negara. Hmm. Ada sedikit yang mengganjal, ternyata sampai 10X lipat yah pemerintah setempat memberikan tarif untuk WNA. Kebijakan tersendiri, tapi ya sudahlah, mungkin bagi mereka yang WNA memang tidak terlalu besar, 50cen dollar Amerika, tapi bagi saya pribadi. Cukup tidak adil. Apalagi kalo mengingat ketika saya kuliah di Russia, tidak ada perbedaan yang drastic saat akan memasuki tempat-tempat wisata. Kembali lagi.. inilah Indonesia tercinta….
Pukul 5.18 pagi, matahari tetap tidak jua memunculkan wujudnya, sinarnya yang redup redam malu-malu menyapa para penyambut sunrise pagi ini, benar saja, kata orang bulan mei bukan bulan bagus untuk dapat mendapatkan sunrise diatas penanjakan, alhasil seluruh manusia penyambut mentari pagi itu kembali keperaduan masing-masing membawa kecewa tersendiri, tapi bagi saya tidak ada kata menyerah ! tidak mendapatkan sunrise, saya tetap menikmati indahnya alam bromo dari penanjakan berlapis kabut tebal, pada pukul 7.00 matahari tetap bersembunyi dibalik tebalnya kabut yang berlapis awan bermuatan hujan. Sesekali angin kencang berhembus menghempas kabut yang menutupi indahnya bromo, dan Wow…. Bromo dan caldera menyapa kami ditengah dingin suhu penanjakan. Indah mempesona! Seakan mulut ini tak ada puasnya mengucap syukur diberi kesempatan ke indahan ciptaan Allah Swt.
Sungguh besar kuasa Allah Swt, hingga seakan bertasbihnya mulut tak ada habisnya mengisyaratkan keindahan kuasa Allah Swt ini.
Tapi sayang tidak berlanjut lama, kemudian kabut kembali menutupi, udara semakin dingin ditambah hembusan angin kencang yang cukup membuat badan bergetar kedinginan.
Begitulah,. Hingga akhirnya saya dank e 3 rekanan saya berikut suami saya akhirnya memutuskan untuk kembali ke tempat teman-teman lain. Kembali menuruni jalanan tosari dan kembali ke kota Bangil
l